Perjalanan film religi di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1950-an. Film-film religi di era tahun 1950 hingga tahun 1980-an sarat akan makna nilai kehidupan. Sehingga pesan moral yang disampaikan lebih pada gambaran interaksi para tokoh dengan persoalan kehidupan yang dihadapi. Seperti film Dosa Tak Berampun pada tahun 1951, dengan judul demikian memberi kesan keimanan yang kental, nyatanya berbeda dengan cerita yang disuguhkan. Film ini menjelaskan hubungan seorang ayah yang meninggalkan keluarganya hingga pada akhirnya sang anak tidak mengakui ayahnya tersebut. Lain dengan film dengan judul Tauhid (1964) karya Sutradara Asrul Sani, mungkin tak banyak yang mengetahui film ini karena pada era tersebut perfilman Indonesia lebih didominasi kisah perjuangan. Film Tauhid menceritakan tentang rukun islam ke-5 yaitu naik haji, di mana seorang dokter kapal yang seringkali bertugas dalam perjalanan ke tanah suci tidak turut menunaikan ibadah haji. Film lampau lainnya yang juga menyampaikan perihal pelaksanaan ibadah haji adalah Ja Mualim (1968) karya Usmar Ismail.
Film religi juga pernah dipasangkan dengan lantunan melodi seni musik dangdut. Sebagian besar film-film raja dangdut Rhoma Irama memberikan nafas dakwah Islam seperti Perjuangan dan Doa (1980), dengan menampilkan Rhoma Irama bersama Soneta Group, Keagungan Tuhan (1980), yang diperankan Deddy Irama, Nada dan Dakwah karya Chaerul Umam yang diperankan oleh KH. Zainuddin MZ dan Rhoma Irama dan lain sebagainya. Begitu juga dengan film-film laga silat seperti Jaka Sembung (1981) karya Sutradara Sisworo Ghautama Putra, serta Ronda Macan Betawi (1978) karya Sutradara Fritz G. Schandt, dan lain-lain turut menyelipkan dakwah Islam pada penyampaian kisahnya.
Almarhum Chaerul Umam merupakan salah satu sutradara yang secara apik menyampaikan dakwah melalui film religi Islam. Film terdahulu beliau di antaranya adalah Al Kautsar (1977) yang berhasil menyandang penghargaan Tata Suara Terbaik di Festival Film Asia XXIII, Bangkok; Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) yang merupakan produksi ulang dari film Asrul Sani dengan judul sama. Film ini meraih beragam penghargaan di Festival Film Indonesia tahun 1983, antara lain Skenario Terbaik, nominasi Sutradara, Pemeran Utama Pria, Pemeran Utama Wanita, Pemeran Pembantu Pria, Editing, Fotografi, Musik dan Artistik Terbaik. Pada periode lainnya, Chaerul Umam kembali melahirkan karya film religi di antaranya Fatahillah (1997), Ketika Cinta Bertasbih (2009) dan Cinta Suci Zahrana (2012)
Film Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2008 dipercaya sebagai awal momentum kebangkitan industri film religi di Indonesia. Dengan mencapai 3.6 juta tiket yang terjual, memicu motivasi peningkatan produksi film religi pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini pun dilatarbelakangi dengan pangsa pasar penonton muslim Indonesia yang ternyata cukup besar. Film religi kemudian menjamur dengan harapan meraih kesuksesan yang sama atau bahkan lebih besar dari film-film sebelumnya.
Tapi di antaranya, ada yang berhasil ada pula yang tidak. Kesuksesannya bergantung pada inovasi film itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Hanung Bramantyo, “Manusia itu menyukai sesuatu yang baru. Jadi bukan perkara film Islami itu pasti banyak penontonnya, tapi bagaimana inovasi yang dibawa film itu. Tapi memang, film Islami diperkirakan mendapat sambutan hangat di Indonesia karena 80% penduduk di Indonesia adalah muslim. Tapi tetap saja, penonton hampir selalu menyukai hal-hal yang baru.”
Jika tema film yang sama terus menerus dikeluarkan dalam waktu lama, antusiasme penonton akan menurun. Hipotesa cerdik ini yang diyakini oleh Hanung Bramantyo dalam memproduksi sebuah film, baik itu film religi maupun bukan.
Kemudian Hanung menjelaskan bahwa definisi “film religi” ini pun masih kurang jelas. Karena biasanya konsep cerita yang diangkat kebanyakan tentang romance atau kisah cinta. Tapi intinya, apapun genre-nya, yang harus dipikirkan adalah dakwah atau pesan yang ingin disampaikan.
“Setiap film itu membawa pesan. Bagi saya pribadi, baik itu film religi maupun bukan, film tetap harus membawa pesan positif untuk para penontonnya. Karena itu bagian dari dakwah kita”, ujar Hanung.
Film-film religi lainnya yang cukup berhasil menarik perhatian masyarakat antara lain Perempuan Berkalung Sorban (2009), Sang Pencerah (2010), Negeri Lima Menara (2012), 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), dan lain-lain.
Film merupakan salah satu media yang disukai masyarakat. Menyampaikan sesuatu melalui film terasa lebih menyenangkan. Tak bisa disangkal, orang Indonesia kebanyakan lebih menyenangi berita yang disampaikan melalui audio visual, dibandingkan dengan membaca buku.
Ini pun berlaku bagi kita yang memiliki kewajiban berdakwah, meskipun satu ayat. Tepat rasanya jika film digunakan untuk menyampaikan informasi positif sekaligus agamis kepada masyarakat. Film juga bisa dikatakan sebagai bahasa yang tepat dan lebih mudah dicerna oleh masyarakat. Sebagaimana telah diuraikan dalam Al Quran.
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Q.S. Ibrahim: 4)
Jika para nabi pada zamannya berdakwah melalui mimbar, kemudian sekarang dakwah dilakukan melalui film, maka di masa depan mungkin kita akan menemukan inovasi-inovasi lain dalam berbagi pesan positif. Kita bisa menunggu inovasi itu muncul, atau mungkin menjadi pelaku inovasi tersebut.
Apapun yang akan terjadi nanti, gaung film religi saat ini harus tetap diapresiasi. Dengan harapan, pesan-pesan yang terdapat dalam film tersebut bisa sampai dengan baik kepada para penontonnya. Harapan lainnya, semoga semakin banyak sineas sineas yang berkomitmen kuat pada konsep berpesan positif dan dakwah. Bisa terbayangkan, betapa menyenangkannya jika pesan positif bisa terus mengalir melalui cara yang menyenangkan.