Islam merupakan agama yang kaffah (menyeluruh) dan berlaku sepanjang masa. Islam mencakup seluruh aspek hidup manusia, dan menjawab tantangan zaman. Termasuk persamaan hak dan kesetaraan gender.
Pada masa jahiliyah sebelum datangnya Islam, perempuan memiliki kedudukan yang jauh berbeda dari lelaki. Contohnya perlakuan bangsa Arab yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap sebagai aib dan beban, seperti tertuang dalam QS At-Takwir ayat 8-9:
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (QS. At-Takwir: 8-9)
Adat ini merupakan salah satu contoh kebodohan (jahil) bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Juga cerminan kuatnya sistem patriarki yang dianut bangsa Arab kuno. Namun Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mengajarkan bahwa perbuatan ini adalah sebuah dosa yang keji. Sehingga anak-anak perempuan dapat hidup sebagaimana anak-anak lelaki. Ini merupakan salah satu contoh pandangan egaliter Islam terhadap perempuan. Islam memandang pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama di mata Allah SWT. Sebagaimana dalam setiap firman-Nya, Allah SWT selalu berseru ‘wahai orang-orang yang beriman’, yang merupakan panggilan bagi pria dan wanita.
Akan tetapi, dalam hal perbedaan fitrahnya dari pria, Islam mengatur beberapa aspek secara spesifik tentang wanita. Terutama soal aurat, nifas, dan haid. Isu yang cukup hangat jadi perdebatan adalah kewajiban bagi muslimah mengenakan hijab sebagai penutup aurat. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Sebagian wanita memandang ini sebagai bentuk pengekangan, opresi budaya patriarki yang mengekang kemerdekaan wanita atas tubuhnya sendiri.
Islam justru punya pandangan lain. Kewajiban mengenakan hijab adalah bentuk penghormatan terhadap wanita. Wanita adalah makhluk indah, Allah SWT menciptakan wanita shalihah sebagai perhiasan dunia. Sehingga alangkah baiknya jika keindahan ini terjaga dengan baik, tersimpan dengan aman dari segala godaan dan gangguan. Tentu ada perbedaan bagaimana cara memperlakukan perhiasan yang terbuat dari bahan plastik dan berlian. Berlian, karena nilainya dan keistimewaannya, tentu tersimpan dengan rapi. Tak semua orang dapat memandangnya.
Isu lain yang tak kalah hangat diperbincangkan adalah posisi wanita karier dalam Islam. Seiring perkembangan zaman, wanita kini menempuh pendidikan tinggi, bekerja, berkarya, dan berkarier setinggi-tingginya. Tak sedikit yang akhirnya memiliki jabatan dan penghasilan melebihi suami. Bagaimana Islam memandang fenomena ini?
Sesungguhnya wanita tidak wajib mencari nafkah, tapi boleh mencari nafkah atas izin suami. Adapun nafkah dalam Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu didefinisikan sebagai
“Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.”
Dengan ini dapat kita sederhanakan, nafkah adalah segala pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik sandang, pangan, dan papan.
Aktivitas wanita di luar rumah hanya terikat oleh aturan-aturan yang juga berlaku bagi pria seperti manfaat (maslahat) untuk dirinya, keluarga, dan masyarakat. Sedangkan yang membatasi aktivitas wanita di luar rumah adalah kewajiban utamanya yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Yaitu sebagai istri dari suaminya dan ibu dari putra-putrinya. Alangkah sayangnya jika peran ini beralih ke tangan bibi, mbak, atau asisten rumah tangga. Adalah jauh lebih utama jika seorang wanita mampu menjadi madrasah cinta untuk suami dan anak-anaknya.
Sekali lagi, Islam tidak membatasi aktivitas seorang wanita di luar rumah, selama mengantongi izin suami. Juga tentu tidak memberikan dampak negatif bagi keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.