Umat Islam tentunya sudah mengetahui Islam mengharamkan kita mengonsumsi makanan dan minuman beralkohol. Bagaimana dengan hukum alkohol dalam kosmetik?
Hukum Alkohol dalam Kosmetik
Ulama fiqih yang mengharamkannya mengatakan bahwa penggunaan kosmetika berbahan alkohol sama hukumnya dengan mengkonsumsi khamar karena alkohol termasuk dari definisi khamar tersebut. Hal tersebut disebabkan karena 60% dari kosmetika yang dipakai di tubuh akan diserap kulit dan masuk ke dalam pembuluh darah dan akan diserap oleh tubuh. Pendapat yang mengharamkan penggunaan kosmetika berbahan alkohol tersebut berpatukan pada hadist Rasulullah SAW, “Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim).
Sebagian ulama fiqih lainnya menghalalkan penggunaan kosmetika yang mengandung alkohol karena alkohol merupakan zat yang mudah menguap. Seperti contohnya pada parfum, setelah disemprotkan ke tubuh maka alkohol yang terkandung di dalamnya akan menguap dan yang tersisa hanyalah zat pengharumnya saja. Terlebih lagi derivat alkohol, yaitu etanol yang dipergunakan dalam kosmetik berbeda dengan yang digunakan dalam pembuatan khamar. Keduanya pun mempunyai rumus kimia yang berbeda walaupun berasal dari derivat yang sama.
Ir. Muti Arintawati Msi, Wakil Direktur Lembaga Pengawasan Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) Bidang Auditing mengatakan bahwa tidak seluruh jenis alkohol diharamkan. Muti menuturkan bahwa alkohol dalam kosmetika yang diharamkan hanyalah alkohol jenis ethyl alcohol (etanol dan methylated spirit). Alkohol jenis ini banyak terdapat pada lotion aftershave ataupun parfum wanita.
Sedangkan alkohol berjenis cetyl alcohol dan cetearyl alcohol dikategorikan halal. Jenis alkohol ini berbentuk padat sehingga tak dapat diminum dan diserap oleh kulit. Jenis alkohol ini banyak digunakan pada kosmetik dan skin care. Cetearyl alcohol sejatinya bukanlah benar-benar alkohol, melainkan merupakan lilin (wax) yang teremulsi yang dibuat dari tumbuhan. Hal tersebut seperti ditetapkan dalam sidang komisi fatwa 13 Juli 2013.
Dalam sidang komisi fatwa 13 Juli 2013 dinyatakan bahwa penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat bahan yang digunakan halal dan suci, juga ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar`i dan tidak membahayakan.
Penggunaan kosmetika dalam yang dikonsumsi atau masuk ke tubuh yang menggunakan bahan najis atau haram hukumnya ialah haram. Namun jika untuk penggunaan luar (tidak masuk ke tubuh) yang menggunakan bahan najis atau haram selain babi diperbolehkan, namun harus melakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar`i).
Berkenaan dengan ini, MUI mengimbau masyarakat untuk memilih kosmetika yang suci dan halal serta menghindari penggunaan produk kosmetika yang haram dan najis