Bersama Dr. Miftah Faridl
Kita harus yakin bahwa Rasulullah SAW selain sebagai rasul, juga harus diimani sebagai nabi dan rasul terakhir, rasul untuk seluruh manusia, akhlaknya mulia, dan pribadi Beliau adalah uswah hasanah (suri tauladan yang baik) sebagaimana tercantum dalam Surat Al Ahzab ayat 21, “laqad kaana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah.” Keteladanan Beliau telah terlihat sejak kecil jauh sebelum menjadi rasul. Salah satu sifat Rasulullah yang paling menonjol adalah kejujuran. Beliau adalah lelaki cerdas, pekerja keras, dan pandai berdagang, namun karena kejujurannya Beliau berjuluk al-amin (yang menjaga amanah atau dapat dipercaya). Ini mengindikasikan banyak manusia bekerja keras dan cerdas, tapi tidak semuanya memiliki sifat jujur.
Banyak contoh kehidupan Beliau yang membuktikan keunggulan akhlak Rasulullah. Salah satunya sebagai pemimpin, Beliau lead by example. Mengamalkan terlebih dahulu apa yang diwahyukan, baru mengajarkannya kepada orang lain. Ini adalah salah satu contoh gaya kepemimpinan yang efektif. Action speaks louder than words. “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff ayat 2-3). Ini juga berlaku untuk ayah, ibu, guru, atau siapapun.
Namun perlu kita ingat bahwa Rasulullah sebagai manusia hidup sekitar abad ke-7, sehingga terikat oleh zamannya dan budaya Arab setempat. Oleh karena itu ada sebuah pedoman bagi kita menyikapi tauladan Rasulullah: tasyri’ (berfungsi sebagai hukum), dan ghairu tasyri’ (tidak berfungsi sebagai hukum). Banyak prilaku Nabi Muhammad yang merupakan bagian dari kebudayaan Arab, misalnya pakaian gamis yang selalu Beliau kenakan, atau menu makanan yang Beliau makan sehari-hari sebagai orang Arab, itu tidak wajib atau sunnah. Misalnya lagi perlengkapan perang Beliau berupa pedang dan panah, semata-mata berdasarkan teknologi pada zaman itu. Ini beberapa contoh yang ghairu tasyri’.
Umumnya tauladan ghairu tasyri’ ini berkaitan dengan hal di luar ibadah. Sebab Nabi Muhammad dengan tegas berkata, ana ahakum! (patuhlah kepadaku!) untuk hal-hal seputar ibadah. Namun untuk urusan duniawi, seperti teknologi kawin silang pohon kurma ketika itu, Rasul sepenuhnya menyerahkan kepada umat. Sederhananya, semua perbuatan ibadah ritual, dilarang kecuali yang dicontohkan Rasulullah. Namun semua perbuatan di luar ibadah, terkait budaya, diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat yang ada.