Tak ada lagi suara yang terdengar selain debur ombak. Hampir saya lupa bagaimana wujud polusi, ketika udara yang tercium begitu bersih. Bagaimana tidak? Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya biru langit, hijau daun, dan beningnya air laut. Padahal saya tak berada begitu jauh dari ibukota, yakni di kawasan Ujung Kulon, tepatnya Desa Sumur, Pandeglang Banten.
Semut di seberang laut terlihat, sementara gajah di pelupuk mata tak tampak. Peribahasa ini terngiang jelas di benak saya ketika menikmati alam di kawasan Ujung Kulon Pandeglang Banten. Warga ibukota kebanyakan hanya mengenal pantai di Bali, Raja Ampat, bahkan pantai-pantai di luar negeri. Padahal ada pemandangan indah yang bisa dinikmati hanya dengan perjalanan enam jam dari Jakarta Selatan.
Keindahan alam yang disajikan desa ini pun beragam. Dari keindahan pulau-pulau kecil berpasir putih seperti Pulau Peucang, Pulau Umang, Pulau Oar, dan Pulau Mangir, sampai eloknya pepohonan dan air terjun di Gunung Honje.
Diperlukan keterampilan ekstra untuk menyetir kendaraan ke sini. Jalanannya banyak yang rusak dan berkelok tajam. Jangan kaget, jika para penumpang susah untuk duduk diam dengan tenang. Namun percayalah, semua akan terbayar ketika sampai di tempat tujuan.
Destinasi pertama kami adalah Pulau Mangir. Saat menyebrang dari pelabuhan Sumur, yang terlihat hanyalah biru laut serta hijau pepohonan. Hanya perlu kurang dari 20 menit hingga kami menginjakkan kaki di pasir yang putih. Pulau Mangir masih sangat perawan. Bisa dikatakan, kurang sentuhan. Serpihan karang berwarna putih tersebar di mana-mana. Tak ada rumah apalagi toilet. Luas pulau ini mungkin tak lebih besar dari Stadion Gelora Bung Karno.
Tak jauh berbeda dengan pulau yang kami kunjungi selanjutnya, Pulau Oar. Bedanya pulau ini terasa lebih hidup karena berdekatan dengan Pulau Umang yang memang telah dibangun resort dan dikunjungi oleh banyak orang. Pemandangan bawah lautnya pun mempesona. Snorkling tak harus jauh-jauh ke tengah. Ikan berwarna warni serta karang dengan berbagai bentuk sudah bisa ditemui tak jauh dari bibir pantai. Tapi, lupakan penjaga pantai seperti di film Baywatch, kita harus tetap berhati-hati dan menjaga diri sendiri meski airnya tenang.
Penjagaan pulau ini hanya dilakukan oleh satu dua orang saja. Salah satunya adalah Abah Surnain yang menjaga Pulau Mangir. Pekerjaan utamanya adalah nelayan. Ia mengunjungi pulau, satu atau dua kali sehari untuk membersihkan sedikit kotoran, karena memang tak banyak tamu yang menyambangi pulau ini. Agak heran juga sebenarnya, bagaimana bisa daerah ini belum terjamah, padahal memiliki potensi pariwisata yang besar.
Miris. Selama ini saya pribadi acuh tak acuh terhadap pemilihan kepala daerah, bahkan bisa dikatakan apatis. Melihat kondisi Desa Sumur ini menjadi pukulan tersendiri bagi saya. Membayangkan pariwisata pulau harusnya bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar. Perawatan ekosistem Taman Nasional ini pun seharusnya bisa mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Tapi kenyataan yang terlihat hanya karang yang mulai terkikis, pasir yang mulai menguning, dan sampah yang mulai bertebaran.
Pergulatan pikiran dan emosi makin terasa di senja hari, saya diajak Bapak Edi J. Bahctiar pemilik Wisma Sarang Badak tempat kami menginap, untuk melihat perkampungan nelayan. Berada tak jauh dari pelabuhan Sumur, terdapat hampir 70 rumah bilik milik nelayan. Mereka hidup berpindah pindah, karena tak memiliki tanah. Tanah yang sekarang ditempati sudah dibeli oleh sebuah perusahaan besar.
Pun begitu dengan kehidupan mereka sebelumnya, tanah yang mereka tempati dimiliki oleh perusahaan swasta yang anehnya tak kunjung membangun apapun di sana. Sayangnya pula, para nelayan ini tak begitu pandai mengelola uang untuk memutuskan kapan mereka bisa membeli tanah untuk kehidupan yang lebih baik. Memang tak banyak pelatihan yang dilaksanakan di sini. Jikalau ada, antusiasme masyarakat tak begitu baik.
Saya hanya bisa menarik nafas panjang saat itu. Bapak Edi telah 20 tahun menyaksikan rusaknya pantai perlahan-lahan. Semburat kekecewaan dan ketakutan terlihat dari matanya. Usahanya untuk memajukan desa ini tak bisa dianggap remeh. Tahun 2003, ia berhasil memenangkan kompetisi tingkat internasional mengenai inovasi pengetasan kemiskinan di kawasan Taman Nasional untuk meningkatkan daerah konservasi di daerah Ujung Kulon. Projek ini mengalahkan lebih dari 3800 peserta. Wisma Sarang Badak merupakan salah satu income unit yang menjadi bagian dari projek sosial yang diajukan. Income Unit ini menjadi sumber pendapatan untuk menjalankan program seperti kampanye konservasi, pendidikan, pelatihan, dan regulasi.
Meski hanya satu berbanding seribu, Pak Edi adalah salah satu contoh penduduk yang cerdas sekaligus memiliki idealisme untuk membangun desanya. Ia tidak memilih untuk meninggalkan desa dan mencari kesuksesan di tengah kota seperti kebanyakan orang. Tapi tentu saja ia tak bisa bekerja sendirian. Ia masih mengharapkan pemerintah mau mendukung dengan lebih berkala, tak timbul tenggelam begitu saja. “Pemerintah memberikan bantuan yang bersifat sementara, ganti pemerintahan ganti juga programnya, jadi tidak berkesinambungan”, kenangnya.
Pak Edi juga yang membawa kami esok harinya melakukan hiking di Gunung Honje. Oksigen yang diproduksi langsung oleh pepohonan di depan mata kami, begitu menyegarkan. Aneka buah-buahan unik kami temukan seperti Cente dan Harendong. Berulang kali kami menanyakan buah mana yang bisa dimakan. Menjalani clean eating lifestyle sepertinya tak susah untuk dilakukan di sini.
Puncak kesegaran adalah saat kami menikmati air terjun. Meski kondisi kemarau membuat debit air berkurang, bahkan kering, beningnya air masih bisa kami rasakan. Sayangnya, karena waktu yang kami miliki tak banyak, kami tak sempat mengunjungi kebun Honje. Padahal, bunga-bunga berwarna merah dari tanaman ini begitu memikat hati.
Cerita tentang Gunung Honje dan gunung lainnya di daerah ini tak hanya seputar keindahan alam semata. Menurut kuncen desa ini, ada banyak sekali hal-hal berbau mistis yang terjadi. Tak sedikit, bahkan mungkin ribuan orang yang datang ke sini hanya untuk berdoa kepada hal-hal gaib. Hal ini pula yang membuat kening Pak Edi sering berkerut. Jumlah wisatawan yang murni ke sini untuk menikmati pemandangan alam masih jauh lebih sedikit dibandingkan tamu yang datang untuk pesugihan.
Indonesia memang kaya cerita Animisme Dinamisme. Percaya tak percaya rasanya, bagaimana orang-orang itu bisa begitu yakin akan kekuatan yang mungkin belum jelas hukum kehalalannya di mata agama. Tapi sudahlah, biarkan cerita itu menjadi kekayaan pengetahuan bagi kita semua.
Bagi saya, perjalanan ini tak hanya tentang pemandangan alam, tapi kepedulian kita terhadap pariwisata lokal termasuk kepedulian kita terhadap pemerintah yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Mungkin benar, perjalanan atau traveling tak hanya sebatas kamera, selfie, dan check in di sosial media, tapi juga harusnya bisa menjadikan seseorang lebih bijaksana. Saya setuju dengan ungkapan Ika Natassa di salah satu bukunya yang berbunyi, “Travel teaches us how to see”. Melihat bagaimana mahakarya Allah yang super indah, dipercayakan kepada manusia untuk dirawat dan dikelola dengan baik. Persoalannya, apakah kita sebagai manusia bisa dipercaya?