Wisata Kawah Ijen yang Menyejukkan Mata

Untuk menuju wisata Kawah Ijen, pertama-tama kita harus menumpang pesawat terbang Jakarta-Surabaya selama 70 menit. Berangkat dini hari sambil menahan kantuk pun harus dilakoni, dibandingkan menggunakan naik kereta api yang memakan waktu 9 jam. Setibanya saya di Bandara Internasional Ir. H Djuanda, Surabaya pada pukul 01.00 dini hari, saya langsung menghubungi teman dari Banyuwangi yang sedang menyelesaikan kuliahnya di Surabaya. Dia yang akan menjadi guide saya ke Kawah Ijen.

Saya memilih naik taksi ke arah kota menuju basecamp Banyuwangi Adventura di Ngagel Wasana. Memang lebih baik berpetualang dengan penduduk lokal. Jauh lebih baik dan lebih pasti dari panduan di Lonely Planet. Di sini saya disuguhi teh manis panas untuk mengusir kantuk. Saya juga sempat berjalan-jalan mengitari basecamp, melihat berbagai macam koleksi tenda, sleeping bag, nesting, tali-temali dan peralatan-peralatan camping lainnya.

Teman saya, Khairul Helmy membuatkan peta navigasi sederhana. Sebab saya memang tak mau diantar ke Kawah Ijen. Saya selalu bersemangat menjadi solo travel woman. Kata Helmy, tak sulit menuju wisata Kawah Ijen. Penduduk manapun bisa menunjukkan jalan. Semangat masih memacu, karena wisata Kawah Ijen adalah incaran saya sejak empat tahun lalu. Helmy memberi saya tiket kereta api dari Surabaya ke Karangasem seharga Rp68.000. Jadwalnya usai subuh jam 04:25 WIB.

Saya sempat menanyakan soal keamanan bagi perempuan traveling sendirian di Ijen. Helmy meyakinkan saya semuanya aman. Helmy menyarankan saya membangun tenda di dekat warung-warung sekitar Ijen. Bisa juga bermalam di lapangan dekat Pos BKSDA. Sebaiknya pendaki membeli makanan sebelum naik ke Paltuding, karena harganya lebih murah dari di atas.

Kereta tiba di stasiun 04:40 WIB, saya naik di gerbong 1 di kursi nomor 9C. Di depan saya ada seorang Bapak masih pulas tertidur. Saya juga tertidur selama di kereta.

Sampai di Karangasem, saya menghubungi Mas Adam, rekan Helmy. Namun panggilan dan pesan saya tak terjawab. Sambil menunggu, saya menghampiri rumah penginapan yang berada tepat di depan Stasiun Karangasem. Pemilik penginapan begitu ramah, mereka memberi saya segelas teh hangat dan sepotong roti. Mas Adam tak kunjung datang hingga akhirnya adik Helmy datang mengantarkan motor untuk saya.

Sebelum mendaki, saya pergi ke kota untuk membeli masker dan mencari tempat mandi. Perjalanan ke Paltuding melintasi perkebunan karet. Pukul 15.00 WIB, saya sempatkan diri berhenti di sebuah warung sekitar tujuh kilometer sebelum Paltuding. Makan siang dan malam digabung menjadi satu di lambung.

Perjalanan menuju Paltuding

Sesampainya di Paltuding ternyata masih sepi, tidak ada tanda-tanda ada yang mendirikan tenda. Maka saya sempatkan mengeksplor wilayah sekitar. Di sekitar sini, saya menemukan padang ilalang berwarna merah jambu dan jingga. Semburat matahari senja membuat padang ini tampak berkilau di mata. Saya masuk ke dalam padang ilalang ini dan tersesat karena ilalangnya lebih tinggi dari badan. Tapi tak mengapa, 30 menit tak terasa lama untuk menikmati pemandangan ini.

Lalu saya meneruskan perjalanan dan menemukan air terjun yang pernah diceritakan Helmy. Tidak ada siapapun di sana, mungkin karena ini Hari Kamis. Beda cerita jika akhir pekan atau musim liburan. Saya memarkir motor dan menaiki bebatuan air terjun. Airnya berwarna kuning kehijauan dan berbau sulfur. Sayang keindahan ini terkotori coretan-coretan vandalisme di bebatuan sekitar.

Air Terjun

Menjelang senja saya kembali ke Paltuding, mampir ke salah satu warung, memesan teh hangat. Sinyal ponsel sudah tidak tembus ke daerah sini. Setelah merasa cukup hangat, saya mendirikan tenda di samping warung tersebut. Saya duduk di tempat yang menyerupai pendopo, menunggu waktu maghrib tiba.

Malam hari perut masih kenyang, saya mengambil jaket dan kaus kaki karena udara mulai dingin. Camping ground masih sepi. Menjelang pukul 21.00 WIB barulah ada beberapa motor yang datang. Satu jam kemudian saya memutuskan tidur supaya bisa bangun pukul 01.00 dini hari.

Saya terbangun karena suara orang di luar tenda semakin ramai. Ternyata riuh suara para penambang sulfur berjalan mencari rezeki. Saya membersihkan muka dengan tisu basah (ugh, dingin!), memakai sepatu dan membalutkan syal agak tebal di leher.

Saya keluar tenda lalu memesan cokelat panas sambil memperhatikan pejalan-pejalan lain yang berkelompok. Pukul 01.30 WIB saya mulai berjalan ke atas, membeli tiket masuk seharga Rp5.000 berbekal senter. Sembari berjalan saya melihat ke atas langit, menakjubkan, tanpa cahaya senter sebenarnya saya bisa tetap berjalan karena cahaya bintang bertaburan dan cahaya rembulan.

Gunung Meranti

Kawah dan Gunung

Melewati Pos Pondok Bunder, ada banyak pendaki yang berhenti di ketinggian 2214 meter di atas permukaan laut. Sesampainya di atas, bau belerang sudah tercium pekat. Seorang pemandu bernama Pak Anang lewat dan menyapa saya, membawa kakek berumur 75 tahun. Mereka bilang rasa salut atas keberanian saya. Saya hanya tersenyum. Saya pun salut dengan beliau, cukup jarang wisatawan lokal mendaki gunung di usianya. Biasanya lebih banyak wisatawan mancanegara.

Pak Anang tidak menganjurkan saya mendekat lebih dalam ke kawah. Walau pijar apinya terlihat sangat kecil, namun tak lama lagi angin akan berhembus ke atas. Lebih baik segera naik sebelum hal itu terjadi. Butuh waktu sekitar sekitar 30 menit untuk turun ke kawasan kawah, dan 30 menit lagi untuk naik kembali. Maka saya tak berlama-lama di bawah, karena ingin melihat cahaya matahari terbit.

Kawah

Sayangnya, ucapan Pak Anang benar. Angin berhembus keatas, asap sulfur naik menutupi sebagian kecantikan gunung. Tapi tak mengapa, Tuhan selalu memberikan nikmat. Dalam perjalanan kembali ke bawah, saya melihat gagahnya Gunung Meranti berdiri.

Setiap kali naik gunung, saya selalu bersujud syukur. Sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Anbiyaa, “Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka…” (QS. Al Anbiyaa ayat 31). Gunung selalu berhasil memperlihatkan bahwa manusia tak patut sombong di dunia. Karena sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Naba’, “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. An-Naba’ ayat 6-7). Subhanallah, sungguh besar kuasa Allah.